Selasa, 10 Mei 2011

ASEAN Community: Sebuah Komunitas Imitasi?

ASEAN SECURITY COMMUNITY;
Khayalan atau Paksaan?
ASEAN charter telah menelurkan beberapa poin penting akan terwujudnya komunitas ASEAN di tahun 2015. Dan salah satunya ialah pembentukan akan teciptanya ASEAN Security Community. Dimana disini diharapkan kawasan ASEAN menjadi kawasan yang aman, netral, serta konflik yang terjadi dapat terminimalisir. Dalam kurun waktu empat tahun lagi, berarti ASC (ASEAN Security Community) ini harus dapat terwujud pelaksanaannya. Namun sayang masih terdapat kekurangan dan hambatan di beberapa sektor untuk membentuk ASC ini. Oleh karenanya beberapa pengamat menilai hal ini apakah hanya ilusi atau cita-cita yang terlalu utopis?
Dalam artikel milik Amitav Acharya, beliau meninjau bahwa pembentukan Security Community dapat ditilik dari dua sisi yaitu liberalisme institusional dan realisme. Jika dari sudut pandang liberalisme institusional, community security ini hadir karena adanya beberapa Negara yang sama-sama mempunyai ideologi demokratis. Jadi tidak adanya perang dianggap sebagai faktor penunjang agar security community ini dapat bertahan lama. Sedangkan pandangan realisme ialah security community ini hadir karena adanya kepentingan atau interest yang sama dari aktor-aktor ini, sehingga security community dijadikan lahan untuk memenuhi kepentingan tersebut. Sedangkan menurut pandangan konstruktivis, security community muncul karena adanya identitas kolektif daripada jumlah total kepentingan para aktornya. Ada dua premis penting disini, pertama ialah penekanan pada intersubyektifitas daripada material. Yang kedua ialah identitas dan kepentingan Negara itu elemen yang penting daripada adanya kekuatan dari luar untuk membentuk security community ini. Apa yang terjadi di ASEAN cukup menarik karena disini ideology masing-masing Negara masih ada yang berlainan dan hal ini tentu berbeda atas apa yang terjadi pada security community di kawasan Atlantik Utara. Jika menilik pada paham liberalisme yang menuntut akan adanya demokrasi untuk memunculkan security community maka hal ini terbukti benar merujuk pada awal mula pembentukan ASEAN sendiri, dimana Indonesia dan Malaysia takut akan kekuatan komunisme yang ada di RRC. Sedangkan Thailand dan Singapura mengalami ancaman keamanan dari Negara Vietnam. Berarti bahwasanya pembentukan ASEAN sendiri sebenarnya merujuk pada nilai-nilai liberalisme. (Acharya, 1998: 198-208)

David M. Jones dan Michael L. R. Smith, bahkan dua orang ini secara frontal menggambarkan bagaimana keadaan ASEAN Security Community ini tidak lebih dari imitasi atau palsu belaka. Hal ini karena merujuk pada realita yang ada sendiri bahwa kondisi di ASEAN masih terjadi konflik disana-sini. Untuk memunculkan adanya sebuah komunitas yang berbaur menjadi satu sangatlah utopis. Meskipun banyak agenda yang telah dijalankan seperti ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN Free Trade Area (AFTA), ataupun TAC belumlah mampu menyentuh sektor kehidupan masyarakat kalangan bawah pada umumnya. Adanya agenda-genda kegiatan seperti yang tercantum diatas tidak ubahnya hanya dimainkan oleh para elit politik yang ada diatas, sebgai alat legitimasi bagi kekuasaan mereka. Yang lebih parah lagi, justru dengan adanya komunitas imitasi ini juga turut memunculkan scholarship ataupun beasiswa yang imitasi pula. Karena menurut Jones dan Smith, para scholar yang menyebutkan adanya kefektifitasan dalam komunitas ASEAN ini merupakan pemikiran utopis seperti yang telah disebutkan diatas. Mereka kurang begitu menelaah permasalahan yang ada di ASEAN secara mendalam. Informasi yang didapat pun tidak terlalu signifikan dan terkesan menutup-nutupi. Beasiswa tersebut diberikan tidak lain hanya untuk memperkuat jaringan regionalisme pada ASEAN ini sendiri. Para penerima beasiswa tersebut diharapkan mampu untuk memberikan sumbangsihnya pada regionalisme ataupun memberikan informasi yang baik-baik tentang komunitas ASEAN ini (Jones dan Smith, 2002: 93-100).
Adanya komunitas imitasi ini menurut Jones dan Smith menimbulkan beberapa konsekuensi politik. Jika perang dingin dilihat sebagai waktu pembatasnya, maka akan ada pre-meltdown tensions dan post-meltdown tensions. Pada pre-meltdown isu-isu yang dibahas masih seputar kedaulatan wilayah sebuah Negara. Sehingga persoalan yang menyeruak ke permukaan ialah seperti konflik antara Malaysia dan Singapura. Sedangkan untuk masalah-masalah pada saat post-meltdown lebih cenderung bersinggungan dengan persoalan ekonomi yang ada di kawasan regional asia tenggara. Salah satu factor utamanya ialah adanya resesi ekonomi pada tahun 1998. Permasalahan lain juga muncul, yang pertama ialah tekanan dari dalam terhadap Negara imitasi. Karena adanya krisis baik secara financial maupun politik maka menimbulkan ketidakpuasan di dalam negeri sebagian wilayah ASEAN. Yang kedua yaitu vulnerabilitas dari kaum minoritas. Contoh yang paling mencuat disini ialah persoalan dengan etnis China. Dimana mereka dianggap sebagai kalangan minoritas di Negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia. Apalagi setelah terjadinya krisis 1998, terlihat bagaimana penindasan terhadap kaum etnis merajalela apalagi di Indonesia. Selanjutnya ialah pertumbuhan organisasi ataupun gerakan-gerakan Islam di kawasan Asia Tenggara ini. Tidak hanya di Indonesia saja, organisasi islam ini juga menjamur di Malaysia, Thailand, dan Malaysia. Hal tersebut dianggap mengancam keamanan wilayah Asia Tenggara karena mereka biasanya bergerak di bawah tanah dan radikal. Dan yang terakhir ialah persoalan akan disintegrasi wilayah Indonesia. Sebagai Negara dengan luas wilayah dan jumlah penduduk terbesar di asia tenggara maka keamanan Indonesia sendiri dirasa dapat berpengaruh di kawasan sekitarnya. Bukan berarti meninggikan Indonesia, namun pada kenyataannya disintegrasi Indonesia juga turut mempengaruhi keamanan regional ASEAN. (Jones dan Smith, 2002: 103-107)

Menurut penulis, ASC ataupun komunitas-komunitas lain yang akan direncanakan pada 2015 masih lah harus dikaji secara terperinci. Hal ini memang terlalu utopis mengingat apa yang terjadi di dalam kawasan Asia Tenggara sendiri masih terjadi banyak konflik. Dan dengan Indonesia yang menjadi ketua pada KTT tahun ini, maka diharapkan pemerintah akan lebih tanggap dan cekatan dalam menghadapi berbagai isu yang ada, khususnya isu keamanan ini. Bahkan dalam artikel Jones dan Smith Indonesia memelingi peran strategis dalam mengupayakan keadaan yang aman di kawasan Asia Tenggara.
Referensi:
Acharya, Amitav. (etc) 1998. “Collective Identity and Conflict management in Southeast Asia” dalam Emanuel Adler & Michael Barnett ed. Security Comumnities. Melbourne: Cambridge University Press
Jones, David M. dan Michael L.R. Smith. 2002. “ASEAN’s Imitation Community ” London: Elsevier Science Limited.

Minggu, 01 Mei 2011

Kematian Bin Laden, Apakah Akhir dari "War On Terrorism"

Baru saja penulis membaca sebuah astikel yang menyebutkan bahwa salah satu tokoh teroris yang paling diburu oleh AS Osama Bin Laden meninggal di Pakistan. Tentu sesuatu yang cukup mengejutkan di awal bulan mei ini, dan mungkin hal ini akan membuat pemerintahan AS sendiri legawa setelah 10 tahun terjadinya tragedi 11 September 2001 yang lalu. Lantas apakah dengan kematian Bin Laden ini membuat dunia semakin aman? tidak ada lagi intervensi dan invasi AS dan sekutunya ke negara-negara lain?

Namun rasanya kematian Bin Laden tidak akan berpengaruh banyak terhadap keadaan keamanan dunia. Masalah Libya masih menjadi sorotan utama dimana disana terlihat bagaimana intervensi NATO malah menimbulkan banyak kontranya dari pada pronya. Ataukah kematian Bin Laden ini hanya sebagai isapan jempol belaka? hanya untuk memperkuat posisi sang Presiden Obama yang akan maju lagi di pemilihan umum AS dan memulai kampanye tahun depan? hal ini terasa agak aneh mengingat Bin Laden merupakan tokoh yang sangat sulit dicari keberadaannya. Bush saja yang menjabat selama dua periode di AS tidak bisa menangkap tokoh terorisme ini. Bagaimana dengan janji Obama sendiri yang menginginkan adanya kedekatan antara hubungan AS dengan negara-negara Islam? karena selama sepuluh tahun terakhir image teroris sering disematkan dengan islam yang mengatasnamakan perjuangan di jalan jihad.

Di Indonesia sendiri masalah terorisme juga masih hangat-hangatnya menjadi bahasan yang sering muncul di pemberitaan media cetak maupun elektronik. Terjadinya aksi pemboman di beberapa tempat tentu membuat rasa cemas di kalangan masyarakat. Yang paling penulis tidak terima ialah Bom yang terjadi di Cirebon. Bom ini terjadi di Masjid saat berlangsungnya shalat jumat. Sunggguh seseorang yang tidak memiliki rasionalitas dan rasa simpatik ketika melakukan pemboman di tempat peribadatan. Terlepas dari masjid, gereja, pura, ataupun wihara hal ini tentu menyalahi asas kebebasan beragama yang ada di Indonesia. Ketika penulis masih duduk di bangku taman kanak-kanak penulis masih ingat bagaimana ibu guru mengajarkan untuk saling toleransi dan menghargai perbedaan. Indonesia mempunyai slogan Bhinneka Tunggal Ika, bagaimanapun juga perbedaan lah yang menimbulkan bangsa ini, keberagaman lah yang mencipyakannya.

Semoga saja kematian Bin Laden ini memang benar adanya. Dan tidak seperti lirik lagu, "gugur satu tumbuh seribu" dalam artian dengan kematian ini semoga tidak memunculkan tokoh ataupun gerakan terorisme lain yang mana dapat mengancam keamanan dunia. Adanya perpetual peace pun dapat terwujud.

Pembelaan Neoliberalisme Terhadap Intervenvi NATO ke Libya


Intervensi NATO ke Libya; Sebagai Bentuk Penegakan HAM dan Penyebaran Demokrasi
Pandangan Kaum Liberalis
Oleh: Adytya Erlangga Putra
            Rezim Khadafi yang telah berkuasa selama 40 tahun lebih, telah membuat rakyat Libya kehilangan hak-hak individunya untuk bebas berpendapat dan memenuhi kebutuhan mereka. Arus revolusi yang telah gencar di dengungkan masih saja menjadi perjuangan hingga saat ini. Jika ditilik kembali, seharusnya Libya lebih legawa dalam menghadapi hal ini. Mengingat hal serupa juga telah terjadi di beberapa Negara lainnya. Yaitu Mesir dan Tunisia. Arus revolusi yang menuntut adanya demokrasi ini seharusnya tidak ditanggapi dengan jalan kekerasan oleh Pemerintahan Khadafi dan kroni-kroninya. Peristiwa ini tentu sangat disayangkan mengingat jatuhnya korban yang tidak sedikit. Hal tersebutlah yang membuat Negara-negara lain geram. Apalagi kekayaan Khadafi beserta keluarganya sendiri di tafsir melebihi GDP dari Libya. Apa yang dilakukan oleh NATO, merupakan usaha untuk melindungi hak asasi warga Libya dan mendorong percepatan proses demokratisasi. Yang perlu digaris bawahi disini ialah NATO disini tidak hanya didalangi oleh AS. Melainkan ada Negara-negara lain yang ikut terlibat di dalamnya. AS tidak secara mandiri dan egois menyatakan intervensi ini. Hal ini tentu berbeda dengan invasi AS ke Irak pada tahun 2003 yang lalu.
            Dengan mengambil pendekatan dari kaum Liberalisme republican, isu HAM dan juga penyebaran demokrasi yang diangkat oleh NATO disini tentu dibenarkan. Apalagi usaha ini juga untuk menciptakan suatu perpetual peace. Liberalism replubican dibangun pada pernyataan bahwa Negara-negara demokrasi liberal bersifat lebih damai dan patuh dibandingkan dengan system politik lain(Sorensen, 2009: 159). Italia, Perancis, Inggris, dan Negara-negara NATO lainnya menginginkan adanya demokrasi yang ada di Libya secepatnya terselenggara. Dan juga adanya pelanggaran terhadap HAM segera terselesaikan. Jika tedapat korban sipil di dalamnya, hal ini tidak lain karena adanya miss conduct ataupun ketidak-sengajaan dari pasukan NATO. Secara faktual terlihat bahwa korban yang tewas akibat aksi NATO ini tidak lebih besar saat pasukan pro Khadafi menyerang masyarakat pro revolusi. Dan sudah seharusnya Khadafi mundur demi keamanan dan kestabilitasan politik dan sosial yang ada di Libya (www.thejakartapost.com).
            Jika ada anggapan lain bahwa tujuan NATO tidak hanya karena alasan HAM, hal ini juga terkait dengan asset yang ada di Libya sendiri. Bagaimanapun juga kondisi di Libya juga turut membawa pengaruh ke perekonomian Negara lain, apalagi di kawasan Afrika Utara dan Liga Arab. Keamanan menjadi hal yang dikaitkan dengan suasana investasi yang ada. Dan jika hal ini dibiarkan tentu dapat menimbulkan krisis yang berdampak buruk bagi perekonomian global. PBB sendiri sebagi otoritas global juga mengharapkan perdamaian dapat tercipta dengan segera di Libya. Hal ini sekali lagi tidak lain untuk melindungi hak-hak sipil warga Libya sendiri. Hal tersebut terkait dengan elemen yang ada dalam liberalisme replubikan yang menyatakan bahwa adanya interdependensi dalam kerjasama ekonomi akan menguatkan keamanan dan kestabilan internasional (Sorensen, 2009: 161).
            Kenapa demokrasi itu penting? Karena dengan system ini maka akan tercipta kondisi dunia yang stabil. Penyelesaian konflik yang ada diselesaikan dengan damai. Dan hubungan damai ini berlandaskan akan moral yang sama. Sekarang Negara mana yang tidak ingin aman? Dengan munculnya gelombang demokratisasi yang ada di timur-tengah akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa keinginan untuk menciptakan dunia yang lebih  baik itu sudah mulai menguat. Negara yang tidak demokratis, akan lebih menutup diri dan terlihat rakyatnya tidak makmur, contoh yang penulis ambil ialah Korea Utara. Dimana bisa terlihat bahwasanya kediktatoran Kim Jong Il tidak lebih dari sekedar mengkungkung rakyatnya dari pergaulan internasional. Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi di Libya. Sebagai Negara penyuply minyak sebesar 2 % di dunia maka tentu akan berpengaruh pada perekonomian global. Sehingga intervensi yang dilakukan oleh NATO dibenarkan dengan landasan agar terciptanya kondisi demokratis dan penegakan HAM.
            Referensi:
Jackson, Robert & Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sebastian Abbot and Ben Hubbard Jumat 8 April 2011 Libyan rebels mourn victims of NATO attack error dalam http://www.thejakartapost.com/news/2011/04/08/libyan-rebels-mourn victims-nato-attack-error.html (diakses pada tanggal 25 April 2011 pukul 21.50)

Jumat, 29 April 2011

First; Hard to begin don't know to continue

This is my first post, I don't know why I make this blog? But actually I think it will be great if I have one. so I make sure that this first post just only to introduce myself.
My name is Angga, I study at International Relations Airlangga University.
thats all